Kebijakan Pemerintah Aceh yang berorientasi menyejahterakan melalui peningkatan ekonomi masyarakat sektor perkebunan sawit menuai banyak masalah dan kritikan. Program pengentasan masyarakat miskin melalui tanam sejuta sawit, ternyata telah menimbulkan dampak rusaknya ekositem dan keseimbangan alam. Berdampak pada berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar, yang antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali. Banyaknya hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan sawit.
Konsesi penebangan, seperti hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan secepatnya. PP Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan, sepintas bermuatan positif. PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta/hektare per tahun, atau hanya Rp 120-Rp 300/meter persegi dari kegiatan tambang tersebut.
Konferensi Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember 2007, mengamanatkan kepada para peserta, termasuk Indonesia sebagai tuan rumah, untuk melindungi kawasan hutannya yang tersisa. Tapi ironis, pemerintah kita justru mengkhianatinya dengan mengomersialkan hutan lindung. Sesuatu yang tak bisa dipungkiri, PP No 2/2008 tidak akan pernah melindungi hutan lindung kita, tetapi justru memperparah kerusakan hutan kita.
Hutan dijual murah
Hutan lindung di Aceh semakin rusak berat karena dorongan berbagai kepentingan. Dorongan faktor ekonomi masyarakat, justru hutan lindung oleh pihak-pihak terkait dijual dengan harga yang sangat murah. Pembelian tanah ilegal berupa hutan lindung marak terjadi. Tanah hanya dihargai Rp 3-6 juta/hektar di kawasan hutan lindung, dan di kawasan lahan gambut berkisar Rp 6-10 juta/hektar. Dengan harga yang begitu murah banyak mengundang pengusaha atau investor baik dari dalam maupun luar berlomba-lomba membuka lahan hutan seluas-luasnya.
Demikian pula yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa. Kasus berawal dari pemberian izin kepada PT Kalista Alam menanfaatkan 1.605 hektare untuk perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini diberikan saat Indonesia menghentikan sementara izin-izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut. Rawa Tripa termasuk gambut padat yang kaya keanekaragaman hayati dan termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kenyataan ini telah menjadikan satwa liar semakin terdesak oleh modernisasi yang tidak berpihak. Satwa liar mulai mengalami kepunahan dan keanekaragaman hayati juga semakin homogen.
Semestinya, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan hutan lindung tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang atau redesain, penanaman kembali hutan atau reforestasi, dan menekan laju kerusakan hutan atau reduksi deforestasi, atau dikenal dengan singkatan konsep 3R.
Konsep ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Jeda tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium tersebut ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.
Konsesi penebangan seperti HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan. Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan.
Merusak fungsi hutan
Kerusakan hutan lindung di Aceh menurut catatan Walhi Aceh, pada 2006 kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000-21.000 hektare/tahun, pada akhir 2010 tingkat kerusakannya meningkat sampau dua kali lipat atau sekitar 40.000 hektare/tahun. Pemahaman akan tata ruang lingkungan yang minim menjadi salah satu penyebab banyaknya kebijakan alih fungsi hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Alih fungsi telah merusak fungsi hutan gambut dan mengancam penurunan tanah di kawasan rawa itu.
Tata ruang dan lingkungan ternyata belum menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Akibatnya, kawasan lindung seperti Rawa Tripa pun diizinkan untuk dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan sawit. Banyaknya SDM Pemerintahan yang tidak memahami tata ruang dalam pengelolaan hutan lindung. Kebijakan HGU (hak guna usaha) di Rawa Tripa, misalnya, telah terjadi penyimpangan fungsi lahan. Ini karena tak semua pihak memahami tata ruang dan lingkungan.
Rawa Tripa yang merupakan satu dari tiga hutan rawa di pantai barat Pulau Sumatera, yang luasnya 61.803 hektare masuk sebagai kawasan kawasan lindung. Namun, Walhi Aceh mencatat, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan melalui mekanisme HGU, luasan hutan gambut Rawa Tripa tinggal sekitar 20.000 hektare. Alih fungsi itu menimbulkan banyak kegiatan investasi. Akibat pembuatan drainase di lahan gambut, gambut berangsur menipis dan mengalami subsidence atau penurunan permukaan tanah. Kondisi ini akibat proses pematangan gambut dan berkurangnya air.
Fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air wajib dilindungi. Akibat rusaknya hutan lindung akan menuai terjadinya bencana banjir, tanah lonsor, menipisnya oksigen dan REDD. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi di perkotaan seperti di London, San Franscisco, Paris. Karena itulah, hutan penyokong kehidupan umat manusia dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya perlu dijaga kelestariannya.
* Wintah Firdausi, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU), Meulaboh, Aceh Barat. Email: syuga_2006@yahoo.co.id dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002).| Serambinews.com
0 comments: